Selamat Datang!

Sabtu, 13 Februari 2010

Sosiologi dan Sasra

SOSIOLOGI DAN SASTRA

1.1 Secara singkat dapat dijelaskan bahwa sosiologi adalah telaah yang objektif dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat ; telaah tentang lembaga dan proses sosial.

Pertanyaan Daiches ( 1956 : 275 ) apakah sosiologi suatu ilim yang normatif terlalu jauh karena menganggap sosiologi suatu ilmu dan istilah ilmu itu sendiri bukannya sesuatu yang tidak kabur artinya dalam kontek ini.

Setidaknya kita sepakat bahwa penyelidikan yang dilakukan terhadap struktur masyarakat tertentu, dan penyelidikan tentang tindak-tanduk yang timbul dalam masyarakat tersebut telah terbukti memberikan pengetahuan yang bernanfaat kepada kita.

Meskipun sosiologi boleh dianggap bukan suatu ilmu yang normatif tapi ia dapat memberikan pengetahuan yang dapat menimbulkan sikap normatif kalau pengetahuan itu kita olah berdasarkan akal dan kecerdasan kita misalnya seorang yang cerdas akan selalu menyangkutkan hasil penelitian dengan status dan kebutuhan manusia sebagai manusia misalnya saja ia memberikan penafsiran etis terhadap data-data sosiologis tentang beberapa lembaga sosial akibatnya ia bisa memberi penilaian terhadap masing-masing lembaga yang ditelitinya itu yang kriteria penilainya tersebut jelas tidak didasarkan pada sosiologi itu sendiri , namun sosiologi selalu menyediakan data yang segera dapat ditafsirkannya berdasarkan pada ukuran baik-buruk dalam tindak-tanduk manusia.

2.2 Sosiologi sastra dan sastra berbagi masalah yang sama , dengan demikian novel genre utama sastra dalam zaman indutri ini dapat dianggap sebagai usaha untuk menciptakan kembali dunia sosial yaitu hubungan manusia dengan keluarganya, lingkungannya, politik, negara dan sebagainya, yang dalam pengertian dokumenter murni jelas tampak bahwa novel berurusan dengan tekstur sosial, ekonomi dan politik yang juga menjadi urusan sosiologi.

Perbedaan yang ada antara sosiologi dan novel adalah bahwa sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.

Walaupun ada persamaan objek yang digarap namun ada sesuatu yang di dalam novel yang tidak bisa diganti oleh sosiologi oleh karenanya tampaknya keduanya memiliki kemungkinan yang sama untuk terus berkembang dan mungkin untuk bekerja sama.

2.3 Zaman kita ini telah menyaksikan perkembangan pesat sosiologi agama, sosiologi pendidikan , sosiologi politik, sosiologi ideologi , tetapi sosiologi sastra ternyata munculnya sangat terlambat dan harus diakui bahwa sosiologi sastra belum sepenuhnya merupakan suatu himpunan pengetahuan yang mapan karena mungkin kesulitannya terletak pada kenyataan bahwa yang dihadapi sosiologi sastra adalah unikum yang tidak bisa didekati dengan cara yang sangat subjektif.

Karya sastra harus didekati dari segi struktur dalam, metafora, penyusunan citra, ritme, dinamika alur, penokohan dan lain-lain dan mereka yang telah mengembangkan pendekatan tekstual terhadap sastra sama sekali menolak pandangan bahwa hal-hal yang bersifat ekstrinsik dapat membantu kita dalam mengungkapkan karya sastra.

Mereka tidak menghendaki campur tangan sosiologi dalam telaah sastra , sebab sosiologi tidak akan mampu menjelaskan aspek-aspek unik yang terdapat dalam karya sastra walaupun sosiologi dapat memberikan penjelasan yang bermanfaat tentang sastra dan harus diakui bahwa telaah sastra dan telaah sosial memerlukan metode dan orientasi yang berbeda-beda.

Pendekatan sosiologi sastra yang banyak dilakukan saat ini menaruh perhatian yang besar terhadap aspek dokumenter sastra ; landasannya adalah gagasan bahwa sastra merupakan cermin zamannya ( cermin langsung dari pelbagai segi struktur sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas dan lain-lain, sehingga tugas sosiologi sastra adalah menghubungkan pengalaman tokoh-tokoh hayali dan situasi ciptaan pengarang itu dengan keadaan sejarah yang merupakan asal-usulnya.

Pendekatan ekstrinsik ini telah mendapat serangan pedas dan bertubi-tubi dari para kritikus sastra antara lain dari Wellek dan Warren ( 1956 : 82 ) dikatakan bahwa biasanya masalah seputar “ sastra dan masyarakat “ bersifat sempit dan eksternal, misalnya para kritikus Marxis yang mereka lakukan sebenarnya bukan kritik sastra melainkan “ penghakiman “ yang didasarkan atas kriteria etis dan politis yang sifatnya nonsastra.

Wellek dan Warren selanjutnya mengatakan bahwa tidaklah jelas pengertiannya apabila dikatakan bahwa sastra mencerminkan atau mengekpresikan kehidupan, walaupun sastrawan mengekpresikan pengalaman dan pahamnya yang menyeluruh tentang kehidupan tetapi jelas keliru kalau ia dianggap mengekpresikan kehidupan selengkap-lengkapnya, dan kita pun mengunakan kriteria evaluatif tertentu apabila beranggapan bahwa sastrawan harus mewakili zamannya dan masyarakatnya.

Keberatan yang diajukan Wellek dan Warren di atas jelas didasarkan pada anggapan dan kesimpulan bahwa pendekatan sosiologi terhadap sastra bersifat sempit – sastra dilihat lewat kaca mata ideologi tertentu dalam hal ini Marxisme yang mereka juga tidak percaya bahwa sastra dapat ditelaah dengan menggunakan “ masyarakat luar “ sebagai ukuran dan sekaligus tujuannya.

Kritikus lain yang melancarkan serangan terhadap campur tangan sosiologi dalam kritik sastra adalah Daiches ( 1956 : 360 – 364 ) pokok pertama yang ditampilkannya adalah hubungan antara data sosiologi dan kritikus sastra misalnya seandainya para ahli sosiologi pada abad kedelapan belas menyediakan data tentang struktur masyarakat Inggris pada saat itu , bagaimana cara seorang kritikus memanfaatkan data tersebut apabila ia ingin menulis esei-esei yang dimuat di majalah Spectator yang sangat terkenal pada abad itu.

Kita dapat menarik kesimpulan bahwa esei-esei itu tinggi nilainya karena telah mampu menjalankan fungsi sosialnya dengan efektif dan jelas dari contoh di atas bahwa jalan memintas dari sosiologi ke sastra tak dapat dibenarkan.

Sebuah analogi dari ilmu kedokteran mungkin dapat lebih menjelaskan masalahnya : bakat luar biasa penyair Inggris John Keats berkembang sewaktu ia menderita penyakit tuberkolosis – sajak-sajak nya buruk ( seperti penyakitnya ) atau tuberkolosisnya yang baik ( seperti sajaknya ).

Daiches beranggapan bahwa pendekatan sosiologi itu pada hakikatnya merupakan pendekatan genetik dengan pertimbangan karya sastra dari segi pandangan asal-usulnya baik yang bersifat sosial maupun individual atau kedua-duanya, ia berpendapat bahwa nilai sosiologi ( yang menjadi penyebab, asal-usul ) tidak dapat dipindahkan ke sastra ( yang menjadi akibat, hasil ) tanpa perubahan apa-apa.

Daiches percaya bahwa ada criteria penilaian karya sastra yang bersumber pada hakikat sastra itu sendiri misalnya hubungan antara nilai meja dengan kondisi pembuatannya.

Kita hanya bisa mengatakan bahwa kejelekan meja itu disebabkan oleh warna, bahan dan bentuknya yang memang buruk sedangkan untuk menentukan keburukan meja itu kita tidak usah keluar dari teori meja, tetapi kita boleh keluar dari teori itu agar dapat menjelaskan mengapa meja bentuknya buruk kalau dihasilkan dengan cara tertentu dalam hal ini produksi secara besar-besaran.

Apabila seorang kritikus meja menganggap sebuah meja buruk setelah ia diberi tahu bahwa meja itu dibuat di bawah kondisi yang tak disukainya , maka jelas bahwa ia tidak menilai meja itu sebagai meja,tetapi sebagai produk sosial.

Sebelum kita menilai sesuatu kita terlebih dahulu harus mengetahui apa yang kita nilai itu sebenarnya , inilah hubungan antara sejarah ( dan sosiologi ) dan sastra, hubungan antara pendekatan genetik dan pendekatan evaluatif adalah apabila langkah pertama yang diambil seorang kritikus adalah mengetahui apa sesusngguhnya karya sastra yang ia hadapi itu, ahli sosiologi dapat membantunya mencarikan jawaban.

2.4 Penjelasan sikap Daiches di atas menunjukkan bahwa ia masih melihat adanya manfaat data sosiologi untuk kritik sastra yaitu sosiologi dapat membantu kritikus terhidar dari kekeliruan tentang hakikat karya sastra yang ditelaah dan kritik sosiologi disini berfungsi deskriptif yang penting untuk mendahului penilaian.

Kritik sosiologi juga dapat mengembangkan pengetahuan kita dengan memberikan keterangan tentang misalnya mengapa kelemahan menjadi cirri khas periode tertentu dan kalau seorang kritikus sastra menganggap suatu karya sastra tertentu bersifat sentimental, seorang sejarawan social dapat menjelaskan seba-sebab sosial sentimental tersebut.

Dalam hubungannya dengan kritik dan sosiologi, Daiches berpendapat bahwa kritik sosiologi paling bermanfaat apabila diterapkan pada prosa dan kurang berhasil kalau diterapkan pada puisi lirik, karena dalam kesusastraan Inggris misalnya novel banyak tergantung kepada apa yang dianggap penting seperti hubungan-hubungan sosial, cinta, perkawinan, pertengkaran, dan pertunjukkan, pencapaian atau pengguguran status sosial dan sebagainya, sedangkan puisi lirik cenderung untuk mengkomunikasikan pandangan perseorangan terhadap kenyataan.

2.5 Tentang hubungan antara sosiologi dan sastra, Swingewood ( 1972 : 15 ) mengetengahkan pandangan yang lebih positif, ia mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra kritikus harus berhati-hati mengartikan slogan “ sastra adalah cermin masyarakat “ dan slogan itu melupakan pengarang, kesadaran dan tujuannya, ia juga menyadari bahwa sastra diciptakan pengarang dengan menggunakan seperangkat peralatan tertentu.

Sastra karya pengarang besar melukiskan kecemasan, harapan dan aspirasi manusia oleh karena itu barangkali ia merupakan salah satu barometer sosiologis yang paling efektif untuk mengukur tanggapan manusia terhadap kekuatan sosial , dan karena sastra akan selau mencerminkan nilai-nilai dan perasaan social dapat diramalkan bahwa semakin sulit nantinya mengadakan analisis terhadap sastra sebagai cermin masyarakatnya sebab masyarakat semakin menjadi rumit.

Pendekatan sosiologis terhadap sastra dapat dilaksanakan sebaik-baiknya asal si kritikus tidak melupakan dua hal yaitu : (a). peralatan sastra murni yang dipergunakan pengaran besar uantuk menampilkan masa social dalam dunia rekaannya dan (b). pengarang itu sendiri lengkap dengan kesadaran dan tujuannya.


PELOPOR TEORI SOSIAL SASTRA


3.1 Salah satu dokumen yang tertulis yang memuat “ teori “ aoaial sastra adalah karya Plato, seorang filsuf Yunani yang hidup di abad kelima dan keempat sebelum Masehi dalam bukunya yang berjudul Ion dan Republik menyinggung-nyinggung tentang hubungan yang ada antara sastra dan masyarakat yang teorinya tentang paranan sastra dalam masyarakat terutama diungkapkannya dalam Republik Bab II dan X.

Plato menyinggung peranan sastra dalam masyarakat, dalam pembicaraannya itu ia menggunakan kata “ penyair “ untuk “ sastrawan “ sebab pada zaman itu semua bentuk sastra ditulis dalam karya sastra puisi.

Menurut Plato segala sesuatu yang ada di dunia ini sebenarnya hanya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan.

Dalam teori itu disebut-sebut tentang tiga macam “ seniman “ yaitu seniman pengguna, seniman pembuat dan seniman peniru dan dari urutan itu jelas bahwa yang tertinggi nilainya menurut Plato adalah seniman pengguna yang kedua pembuat dan yang ketiga adalah peniru.

Bagian lain karangan Plato menjelaskan tentang pentingnya sastra bagi pendidikan anak, ia beranggapan bahwa cerita-cerita yang beredar di masyarakat harus disensor terlebih dahulu sebelum disampaikan pada anak karena anak itu sebaiknya hanya menerima cerita yang tidak mengandung hal-hal yang mungkin bisa menyesatkannya atau yang hasilnya negatif

Plato berkeyakinan bahwa setiap warga republik yang diidamkannya harus lebih banyak menggunakan pikiran sehatnya dan bukan perasaan dan bagi Plato puisi menyuburkan perasaan dan mengeringkan akal sehat sedangkan penyair adalah makhluk yang tidak memberikan manfaat apa pun pada masyarakat oleh sebab itu puisi dan penyair harus dijauhkan dari masyarakat.

Pandangan Plato tentang peranan sastra dan sastrawan dalam masyarakat didasarkan pada kegunaan praktis saja dan pandangan ini agak aneh karena justru ditampilkan oleh seorang filsuf yang merasa yakin bahwa kenyataan tertinggi berada di dunia ini tetapi di dunia gagasan.

Meskipun teori filsuf ini kemudian dirobohkan oleh beberapa penulis sesudahnya antara lain Aristoteles Plato penting diingat sebagai salah seorang pemula yang menampilkan teori tentang hubungan sastra dan masyarakatnya , dan hurus diakui bahwa beberapa teori modern tentang hubungan sastra dan masyarakat masih ada kaitannya dengan beberapa pandangan dasar yang disodorkan oleh filsuf itu antara lain menyangkut kecurigaan terhadap sastrawan khususnya dan seniman umumnya.

3.2 Para penulis pada waktu itu memperbincangkan pengaruh lingkungan terhadap sastra , salah satu yang menarik pembicaraan mereka itu adalah pendapat bahwa epik cocok untuk suatu macam masyarakat tertentu yakni yang “ masih kasar “ dan tidak begitu sesuai untuk masyarakat yang “ sudah halus “, dan dari pandangan serupa jelas bahwa faktor lingkungan mulai dianggap penting bagi perkembangan sastra, , istilah “lingkungan” disini diartikan sebagai himpunan faktor-faktor fisik terutama cuaca dan geografis ditambah dengan yamg agak kabur pengertinya yaitu “ watak bangsa “ dan “ kebebasan “, bisa juga iklim sebagai faktor utama yang bisa menciptakan perangai bangsa yang kemudian menghasilkan lembaga-lembaga sosial dan politik yang dapat mendorong atau menghalangi perkembangan sastra.

Tulisan-tulisan pada abad itu mengungkapkan pentingnya peran dokumenter sastra dalam hal ini ada pandangan yang dengan tegas menyatakan bahwa lakon adalah potret yang tepat dari tata cara dan tingkah laku orang-orang pada zaman naskah itu ditulis, pandangan inilah menyiratkan bahwa sastra bisa memegang peranan penting dalam penyusunan sejarah sosial dan selanjutnya faktor-faktor geografis mendapat perhatian yang semakin besar dalam hubungan pengaruhnya terhadap perkembangan sastra.

Kritikus penting pertama yang menyusun teori tentang pentingnya pengaruh factor geografis terhadap sastra adalah Johana Gottfried von Herder, ia menulis puisi yang termasuk periode klasik sastra Jerman, gagasan pentingnya adalah penolakkannya terhadap pandangan Kant tentang rasa keindahan yaitu Kant beranggapan bahwa rasa keindahan hanya dapat ditimbulkan oleh suatu penilaian murni tanpa pambrih sebaliknya Herder beranggapan bahwa setiap karya sastra berakar pada suatu lingkungan sosial dan geografis tertentu dan dalam beberapa tulisannya yang lain Herder menggunakan sejarah sebagai acuan untuk menganalisis sastra; lebih jauh lagi dipergunakannya sebagai alat untuk memahami sejarah.

Herder juga sering menyebut-nyebut tentang adanya hubungan sebab musabab antara sastra dengan “ jiwa zaman “ dan “ jiwa bangsa “.
Kritikus lain yang menghubungkan sastra dengan iklim, geografis dan lingkungan sosial adalah Madame de Stael wanita Prancis , ia menulis novel, buku sejarah, dan kritik, bukunya yang banyak mendapat perhatian adalah “ De la Litterature Consideree dans ses Rapports eves les Institutions “ ia membicarakan hubungan yang ada antara sastra dan lembaga-lembaga sosial yang maksud utamanya adalah untuk membicarakan pengaruh agama, adat-istiadat, dan hukum terhadap sastra dalam pengertian sastra adalah segala tulisan yang melibatkan penggunaan pikiran, kecuali ilmu fisika.

Metafisika dan fiksi dihubungkannya dengan berbagai factor terutama iklim, berdasarkan pandangan itu di Eropa terdapat dua macam sastra yaitu Sastra Utara dan Sastra Selatan.

Menurut kritikus wanita ini iklim bukan satu-satunya factor yang mempengaruhi sastra , ia juga menyatakan bahwa sifat-sifat bangsa penting sekali perannya dalam perkembangan sastra di suatu daerah, menurutnya bentuk novel hanya bisa berkembang di dalam masyarakat yang memberikan status cukup tinggi kepada wanita dan yang menaruh perhatian besar terhadap kehidupan pribadi.

Meskipun dilakukan dengan cara sederhana dan tidak begitu sistematis langkah penting ke arah penelaahan sosial sastra telah dimulai, pengungkapannya tentang peran pembaca wanita dan kaum kelas menengah dalam perkembangan novel menunjukkan bahwa pandangan Madame de Stael benar-benar bersifat sosial.

Dalam pandangan selanjutnya pendekatan sosiologi terhadap sastra terbagi menjadi dua jalur utama yang pertama adalah pandangan yang kemudia dikenal sebagai positivisme yaitu usaha untuk mencari hubungan antara sastra dan beberapa factor seperti iklim, geografis dan ras, pandangan ini menyatakan bahwa tidak ada ukuran mutlak dalam penilaian sastra , penilaian artistic sepenuhnya tergantung pada waktu, tempat dan fungsinya.

Jalur kedua menolak sikap empiris ini dalam pendangan ini sastra bukanlah sekedar pencerminan masyarakatnya tetapi sastra merupakan usaha manusia untuk menemukan makna dunia yang semakin kosong dari nilai-nilai sebagai akibat adanya pembagian kerja, pandanga ini menomorsatukan nilai aspek-aspek lain dalam penelaahan sastra , sosiologi sastra terutama berupa penelaahan nilai-nilai yang harus dihayati oleh orang-orang dan masyarakat.

3.3 Orang yang dianggap sebagai peletak dasar-dasar mazbah genetic dalam kritik sastra adalah Hippolyte Taine filsuf dari, sejarawan, politisi dan kritikus Prancis, yang dianggap sebagai pemuka aliran naturalisme Prancis telah berhasil tampil sebagai kritikus yang sangat cemerlang pada masanya dan salah satu bukunya adalah “ Histoire de Ia Litterature Anglaise ( 1865 ) yang merupakan telaah sosiologi tentang sastra Inggris, menjadikannya seorang tokoh yang sangat terhormat di dunia Internasional.

Disamping beberapa kekurangan yang ada Taine mencoba mengembangkan suatu wawasan yang sepenuhnya ilmiah yang menganggap sastra dan seni dapat diselidiki dengan metode-metode seperti yang digunakan di dalam ilmu alam dan pasti, baginya sastra bukanlah sekedar permainan imajinasi yang pribadi sifatnya, tetapi merupakan rekaman tata cara zamannya suatu perwujudan macam pikiran tertentu.

Jelas bahwa sosiologi sastra yang berdasarkan pada positivisme semacam itu yakni yang menganggap sastra sebagai cermin , sebagai dokumen harus siap untuk membicarakan segala macam sastra yang buruk, yang baik yang apapun macamnya.

Taine bukanlah penganut positivisme murni seperti halnya kebanyak ahli sosiologi sastra ia berpendapat bahwa sastra hanya bisa dianggap sebagai dokumen apabila ia merupakan monumen, dan hanya pujanggalah yang sungguh-sungguh besar saja yang mampu “ menggambarkan “ zamannya sepenuh-penuhnya.

Taine kemudian menentukan sebab-sebab yang menjadi latar belakang timbulnya sastra besar, ia mengajukan tiga konsep ras, saat dan lingkungan ( milieu ) dan hubungan timbale balik antara ras, saat dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur mental yang praktis dan spekulatif.

Taine memberi batasan tentang ras dari segi cirri turun-temurun seperti perangai, bentuk tubuh dan lain-lain dan konsep kedua adalah saat Taine menyodorkan batasa dengan berbagai cara yang sering muncul dalam tulisannya adalah bahwa saat tak ada bedanya dengan jiwa zama dalam pengertian ini saat dapat berarti periode yang memiliki suatu gambaran khusus tentang manusia dan bisa juga diartikan tradisi sastra yakni pengaruh atas sastra pada zaman sesudahnya.

Taine ternya lebih tertarik untuk membicarakan konsep ketiga yaitu lingkungan, teori lingkungan ini mencoba memberikan penjelasan tentang asal-usul sastra oleh karena Taine disebut-sebut sebagai bapak kritik sastra genetik.

Bagian tulisan Taine yang paling berharga untuk perkembangan sosiologi sastra adalah pandangannya tentang masyarakat pembaca dikatakannya bahwa sastra selau menyesuaikan diri dengan cita rasa masyarakat pembacnya sebagai contoh diambilnya dua orang penyair Eropa yang pertama Alfred Tennyson penyair Inggris dan Alfred de Nusset penyair Prancis.

Taine ternyata berpandangan bahwa meskipun faktor-faktor luar memang menentukan karya sastra, yang lebih menentukan lagi adalah faktor kejiwaan, pandangan inilah yang juga mengokohkannya sebagai bapak aliran genetik dalam kritik sastra yakni yang mencoba mengungkapkan asal-usul karya sastra berdasarkan keadaan kejiwaan si pengarang.

Pandangannya yang terakhir itu bertemu dengan pandangannya yang telah dijelaskan terdahulu tentang karya sastra besar sebagai dokumen ia menghadapi dilema yaitu kontradisi untuk menerapkan teori materialisnya pada keinginannya untuk menghargai otonomi jiwa kreatif sehingga ia memilih hanya karya-karya utama saja sebagai bahan analisnya.

Wellek dan Warren ( 1956 : 92 ) mengatakan bahwa tanpa mengetahui metode artistik yang dipergunakan oleh pengarang dalam teks kita akan bisa membuat kesimpulan yang keliru tentang kenyataan sosial yang ada sebelum menerapkan anggapan tentang “ sastra sebagai cermin masyarakat “ , kita harus terlebih dahulu mengetahui apakah karya itu realistis atau karikatural atau romantis atau satiri, jadi yang pertama dan utama harus kita lakukan adalah memahami metode artistik tersebut.

Taine mengatakan bahwa lingkungan terutama menentukan karya sastra, kenyataan ini membuktikan bahwa meskipun selama waktu antara abad Pertengahan dan zaman kebangkitan kapitalisme tidak terjadi perubahan teknologi yang radikal, kehidupan kebudayaan terutama sastra mengalami perubahan-perubahan yang paling dasar dan kenyataan lain sastra tidak selamanya tangkas dalam menyadari adanya perubahan teknologi.

Taine telah mengembangkan suatu teori social sastra tetapi ia tidak berhasil menciptakan metode yang sistematis untuk menerapkannya, namun para penulis yang hidup dalam abad sesudahnya mencoba untuk memanfaatkan beberapa pokok pikirannya dianyaranya dengan memberi batasan yang lebih tegas kepada pengertian lingkungan yaitu sebagai faktor-faktor ekonomi dan kelas sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar